Membongkar Cinta


“Fall in love only when you’re ready, not when you’re lonely!” kira-kira begitulah sebuah kalimat yang ditulis seorang teman dalam statusnya di sebuah situs jejaring sosial.

Bagi saya, pesan dari kalimat itu adalah sebuah innate knowledge, sesuatu yang sebetulnya saya ketahui, namun tidak saya sadari karena pengetahuan ini tidak didapat melalui proses learning seperti Matematika. Saya tahu bahwa ketika jatuh cinta, kita itu harus SIAP. Siap-nya sih bisa macem-macem. Siap secara mental, artinya mental kita kuat gak untuk jatuh cinta? Berani gak kita mengungkapkan cinta kita itu? Siap gak kalau nantinya kita ditolak? Terus yang terpenting adalah siap gak menjadi pasangan yang baik apabila cinta kita “bertepuk dua belah tangan?” Dan the last but not least, siap secara finansial! Kita tidak dapat menyangkal kalau yang namanya pacaran itu butuh biaya, berapapun itu. Atau mungkin masih ada siap-siap yang lainnya? Silahkan anda tambahin sendiri, saya sih agak kurang ahli dalam masalah ginian mah. Maklumlah, di usia yang sudah se-per-empat abad ini, saya memang tidak terlalu banyak memiliki pengalaman dalam hal membangun hubungan dengan lawan jenis, bisa dihitung sama jari kalau menurut bahasa populernya mah (koq jadi curcol ya?)

OK kita lupakan saja curhatan saya yang gak penting itu. Kita kembali ke Mr. Siap! Anda siap?

Ya, mungkin ini adalah jawaban atas kegagalan-kegagalan kita dalam bercinta (haha… bercinta, geli ngetiknya juga) seringkali kita gak sadar bahwa kita belum siap untuk jatuh cinta. Seringkali kita jatuh cinta karena lokasi (cinlok), karena situasi (cinsit), dan atau karena kondisi (cinkon)

OK, saya akan kasih contoh dari ketiga cinta tersebut berdasarkan pengalaman pribadi saya (kali ini bukan curcol, hanya memberi contoh)

Suatu ketika, saya pernah meninggalkan Bandung dan menetap di suatu daerah, katakanlah daerah itu namanya A, dalam jangka waktu yang cukup lama. Seperti yang mungkin dialami muda-mudi lainnya (waktu itu usiaku belum mencapai se-per-empat abad ya!) ketika menginjakkan kaki di suatu tempat yang baru, muncul satu pertanyaan dalam benak saya: orang sini cakep-cakep gak? Pada saat itu harapan saya sih jawabannya Ya! Namun sayang seribu sayang, tanpa bermaksud merendahkan kaum hawa daerah A tersebut, setelah berbulan-bulan saya menetap di sana, berdasarkan mata lahir saya (bukan mata batin), saya bisa membuat hipotesis kalau cewe-cewe di daerah A itu tidak ada yang cakep (standar cakepnya: cewe-cewe Bandung, katanya sih cewe-cewe Bandung memang cakep-cakep). Hipotesis tersebut bertahan cukup lama, sampai suatu saat saya mengenal seorang cewe yang namanya Sherly (fictionalized name). Pada point ini saya baru bisa mengatakan kalau ternyata di sana ada juga cewe cakepnya.

Singkat kata, saya pun jatuh cinta kepadanya. Uhh.. jangan dikira, gan! Sherly itu cewe paling cakep di sana. Walaupun kalau dibawa ke Bandung, dia berada di level average. Nah, cinta saya kepada Sherly ini lah yang saya sebut dengan cinta lokasi, cinta situasi dan cinta kondisi. Cinta yang “terpaksa” tumbuh di lokasi A yang situasinya seperti yang saya gambarkan di atas (jarang ada cewe cakepnya) plus kondisi saya yang memang pada saat itu lagi kesepian. Cinta seperti ini benar-benar tidak sehat. Wong namanya juga conditional love!

Mari kita uji tingkat ketidaksehatan conditional love tersebut. Ketika saya kembali ke Bandung, apakah cinta saya pada Sherly masih ada? Yang saya alami, jawabnya tidak! Bahkan saya baru ingat dia saat menulis ini. Ketika saya tidak lagi merasa kesepian, apakah cinta saya pada Sherly masih ada? Jawabnya masih tetap tidak! Belum lagi apabila saya uji dengan tiga unsur yang harus ada dalam suatu relationship: friendship, love, and lust (lagi-lagi teori ini saya dapat dari seorang teman).

Friendship? kenal Sherly juga baru benter, masa udah jatuh cinta lagi!

Love? Sudah jelas ini adalah cinlok, cinsin, dan cinkon.

Lust? !@#$%^& *sebagian text rusak!!!*

Sekarang tanya diri anda, Apakah anda siap untuk jatuh cinta? Kalau saya pribadi !@#$%^& *sebagian text rusak lagi!!!!*

Terima kasih kepada dua orang teman atas teori cintanya!

Satu pemikiran pada “Membongkar Cinta

  1. Ping balik: I juz dont wanna deny « My Being Asep

Tinggalkan komentar