Human Intentionality and Speech Act

Our mind is composed of the accumulation of knowledge or skill that results from direct participation in events or activities. This is what-so-called experience. Using knowledge, we can think about something; using skill, we can do something; and during thinking about and/or doing something, we may undergo an emotional sensation or be in a particular state of mind (we feel something). Searle (2004) mentioned three types of conscious experiences: thinking about something, intentionally doing something, and feeling a sensation. These three experiences are called human intentionality, which is a technical term used by philosophers to refer to capacity of mind by which mental states refer to, or are about, or are of objects and states of affairs.

When one is hungry (feeling a desire to eat), he will probably think about, for instance, tenderloin steak (thinking about a delicious meal), and in turn go to a restaurant (intentionally doing something). At the restaurant, he says something like “I’d like to have tenderloin steak” to the waiter. The utterance “I’d like to have tenderloin steak” is used by the speaker to convey a certain desire conceptualized in his mind. Furthermore, he does more than uttering “I’d like to have tenderloin steak;” he also does something–ordering or requesting the waiter to get him tenderloin steak. This kind of language use is referred to as speech act. Put simply, speech acts refer to the actions performed via utterances (see Grundy, 2008, Searle, 1969, Yule, 1996).

There are three levels on which speech acts could be analyzed. They are, as Austin (1962) distinguished, (1) the act of saying something, (2) what one does in saying it, and (3) what one does by saying it. These three levels are dubbed as the locutionary act, the illocutionary act, and the perlocutionary act respectively. For example, when one says “it’s hot in here,” we may analyze his utterance on the basis of these levels. In terms of locutionary aspect, the utterance “it’s hot in here” denotes that the ambient temperature is higher than normal or than that desirable to the speaker. However, the illocutionary function of “it’s hot in here” could be an indirect request for the addressee to open the window or turn on the AC. When the addressee gets the speaker’s illocutionary meaning and opens the window, this is what-so-called perlocutionary act–the actual effect.

Further reading:

Austin, J. L. (1962). How to do things with words. London: Oxford University Press.

Grundy, P. (2008). Doing pragmatics (3rd ed). London: Hodder Education.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. London: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (2004). Mind: A brief introduction. New York: Oxford University Press.

Yule, G. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Inconvenient Convenience Store: Do I Look THAT Poor to You?

Frasa inconvenient convenience store yang menjadi judul di atas pernah saya baca di sebuah kicauan seorang teman. Sepertinya ia sedang kecewa ketika membuat kicauan tersebut. Demikian juga ketika saya menulis di blog ini. Hanya saja mungkin tingkat kekecewaan saya melebihi kekecawaanya. Kalau ia cukup dengan berkicau di ruang sempit yang hanya cukup untuk 140 karakter, saya membutuhkan ruang yang lebih lega untuk bisa menumpahkan semua unek-unek. Pasalnya, tadi di TKP saya menahan diri untuk meluapkan amarah.

Singkat kata, sekitar jam 8 malam, 1 Februari 2014, perut saya merasa lapar. Berangkatlah saya menunggangi si Silver menuju sebuah toko kelontong, yang dalam bahasa Inggris biasa disebut convenience store, untuk membeli alakadarnya apa pun yang bisa dipasak untuk dijadikan teman sepiring nasi.

Baca lebih lanjut

Maaf, Aku Mencuri Ceritamu

(Untuk Emak dan Bapak: Aku tak mampu mencari kata-kata untuk mewakili makna kata sesederhana cinta)

Prolog
Bapak sangat keras dalam mendidikku. Bahkan di kalangan tetangga, Bapak terkenal sebagai orangtua tergalak. Tak jarang tangannya hinggap di muka ini. Tanda merah bekas rotan gagang sapu ijuk yang digebukkan pun sering bersilangan di punggungku. Semua itu Bapak lakukan untuk mengimbangi sifat bandelku. Terlebih jika aku lalai dalam menjalankan salat. Walaupun, secara syariat, saat itu aku belum bisa disebut mukalaf, atau boleh dibilang belum aqil baligh, tapi Bapak begitu keras dalam mengajarkanku tentang pentingnya salat. Sering aku menangis karena pendidikan yang diberikan Bapak begitu menyiksaku. Saat itu, yang aku lakukan adalah lari dan menangis di pangkuan Alm. Nenek (dari garis keturunan Emak) yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Atau kalau tidak, Emak, dengan kelemahlembutannya, mengobati tangisku.

Baca lebih lanjut

Dear Malas,

Entah kapan kita bertemu? aku tidak ingat. Aku juga tidak tahu gimana caranya kita bisa bersahabat. O, malas! Kamu memang teman terbaikku, yang nyaris selalu hadir kapan pun dan di mana pun aku berada. Kamu juga teman yang paling perhatian. Di saat aku lagi bekerja, kamu yang paling duluan menegurku untuk ‘istirahat’. Bahkan, sebelum aku bekerja, sering kali kamu mengingatkanku supaya jangan terlalu ‘capek’.

Malas, terima kasih untuk kebersamaan yang kita jalani selama ini, dan untuk semua ‘kenikmatan’ yang selalu engkau suguhkan kepadaku. Tapi, mohon maaf jika hari ini aku memintamu supaya jangan terlalu sering datang, bahkan kalau bisa mending kita musuhan saja. Dua istriku yang baru, skripsi dan pasar, membeci kamu. Mereka memberi mandat padaku supaya menghapus dirimu dari daftar entri ‘kamus’ di dalam otakku.

Baca lebih lanjut

Hiking Season: Marela Falls (Mini Niagara in Bandung)

Senin, 27 Des, 2010. 8 am.

6 unit sepeda motor, 12 penumpang meluncur dari Villa Asmara di kawasan Batu Jajar, Bandung Barat. Kami sengaja berangkat pagi, bukan karena takut macet. Wong kawasan yang kami tempuh adalah Cililin, tapi karena perjalan yang bakal menempuh jarak yang cukup jauh.

Setelah beberapa saat, kami tiba di sebuah pertigaan, di sebuah pasar. Di sana, kami sempat menanyakan arah kepada seorang penjual bakso.

“Lupa lagi euy, keu arah mana.” Kata Elfan yang bertindak sebagai penunjuk arah kami. Dia memang pernah ke Marela sekali. Mungkin dia luping.

“Mang, uninga Curug Marela?” (Pak, tau Air Terjun Marela gak?)

“Oh jang, lurus we ka arah  Gunung Halu, teras ka Rongga, nya 3o kiloan lah” (Oh dek, lurus saja ke arah Gunung halu, lalu ke Rongga, ya sekitar 30km-an lah)

“Ah, 30 kilo mah paling satu jam” kata Yupi. Aku iyakan saja.
Baca lebih lanjut

Hadiah Ultah Terindah

Janji yang tak bisa aku tepati, kegiatan rutin yang tak bisa aku ikuti, undangan yang tak bisa aku hadiri, aku mohon maaf. Momennya memang sungguh krusial bagiku. Tentunya aku tidak bisa membiarkan kedua orang tuaku yang sedang sakit terus-menerus diteror oleh bunyi HaPenya yang menagih hutang. I gotta take in charge, at least till they get well. Pikirku.

Tanggal 6 September adalah masalahnya. Semuanya kompak mau tutup buku pada hari itu. Pemilik pabrik tekstil yang dalam 2 tahun belakangan menjadi salah satu penyuplai bahan mentah konveksi kami adalah orang yang paling rajin “meneror” mereka. Padahal, selama ini dia tidak pernah menagih hutang. Seberapa besar pun hutang kami.

Sedikit kesal sih, kenapa tutup bukunya tidak sesudah lebaran saja? Maklum, kami hanya bermodalkan investasi kejujuran dan kepercayaan dari mereka yang memiliki pabrik tekstil. Jadi jangan pernah berpikir kami memiliki duit cadangan untuk mem-back up masa-masa sempit dan sulit seperti ini. Kasarnya, modal kami adalah hutang. Yang kami lakukan adalah memutarkan hutang dalam berupa kain. Kain itu kami sulap menjadi kerudung, sesudah itu kerudungnya kami dagangkan, uang hasil dagangnya kami bayarkan hutang lagi, ada lebihnya kami makan, pakai dlsb, tak ada lebihnya itu nasib kami.
Baca lebih lanjut

Women, Shopping, and Stress

Dagang!! kata inilah yang terlintas dalam otakku saat pertama kali mataku melihat cahaya pagi itu. Uang kuliah yang belum dibayar adalah salah satu faktornya. Cek kanan, cek kiri, barang yang tersedia ternyata cuma sedikit. Tak peduli, pikirku! Biar dagang cuma sedikit, tapi ada andalan tambahan: nagih hutang, yay! Barang pun dikemas dan “blug…” masuk bagasi.

Baru saja mau nyalain mesin, tiba-tiba dari arah pintu

Ayah: bawa main tuh adikmu! biar gak stress liburan di rumah mulu

Adik: main kemana?

Ayah: kemana sajalah,

Baca lebih lanjut

Jika Anda Ingin Berhasil, Bersikaplah Egois!

Sebelum membahas orang-orang egois, mari kita definisikan dulu kata ego itu sendiri.

What is ego?

Lewis (2007) “your consciousness of your own identity.” Kamus Webster’s mendefinisikan ego: the individual as self-aware. Jadi apa sih buruknya menjadi egois? Kok, orang-orang menyuarakan supaya kita jangan egois. Kalau dilihat dari kedua definisi di atas, sama sekali tidak ada yang salah dengan ego.

Sebelum disentil oleh Paul Arden, saya (ikut-ikutan) percaya bahwa suara mayoritas adalah suara yang benar. Mayoritas orang menyuarakan supaya kita mengesampingkan ego, tapi tidak Paul Arden. Dalam bukunya, Whatever You Think Think the Opposite, ia menyatakan, “Mestinya kita dianugerahi ego karena suatu alasan. Orang-orang besar mempunyai ego yang besar; mungkin (maaf Arden, pada kata “mungkin,” ternyata Anda tidak lebih egois dari saya)itulah yang membuat mereka besar. So let’s put it to good use rather than to deny it. Life’s all about me anyway.” Oh, ini jawabnya. Yang salah bukan egonya, tetapi bagaimana cara ego itu digunakan. PUT IT TO GOOD USE!
Baca lebih lanjut

Bukan Itu Yang Menyedihkan

“Kapan mau nikah? Kenapa malam Minggu ada di rumah? Sudah punya pacar belum, dan blah blah blah?”

Heran! Akhir-akhir ini orang-orang doyan banget nanyain yang gituan. Padahal, mereka itu sama sekali bukan keluargaku. Orangtuaku saja belum pernah menanyakan hal-hal semacam itu. Kecuali ketika tiga kali: ketika ada tiga orangtua yang berbeda, secara bergantian, “melamar” aku untuk putri, cucu, dan kerabatnya. Itu pun HANYA ibuku yang HANYA meminta pendapatku tentang lamaran itu.
Baca lebih lanjut

I fell in love with Pulau Umang and Pulau Oar

“Nickey, aku sudah sembuh, ga akan kambuh lagi. Aku ikut ah..” sms terkirim!

Sebenarnya, seluruh badan masih terasa ngilu. Sesekali, batuk pun merobek heningnya pagi di daun pintu. Walaupun, kekhawatiran akan kambuhnya sakitku untuk yang ke tiga kalinya terus-menerus menteror, tapi kesempatan liburan ke Pulau Umang sungguh sayang untuk dibuang begitu saja, pikirku! Dan, ya, tentunya semua anggota Endless (English Debating Circle of STBA Students) juga berpikiran yang sama. Buktinya, jam 7 Senin pagi, semua anggota Endless, yang sudah mengkonfirmasi keikutsertaanya dalam liburan ini, kecuali aku dan Yuvi yang datang agak terlambat beberapa menit, sudah berkumpul di kampus, tempat di mana kami akan memulai perjalanan. Semuanya rela menghadang dinginnya pagi untuk tiba on time, bahkan in time di kampus. Saat itu, kami hapus “I don’t like Monday” dari perbendaharaan klausa kami. Dalam diri kami, melalui sembilan pasang mata binar, tak terlihat apapun, kecuali antusias. Tak ketinggalan, fitrah narsis manusia yang ada dalam diri kami berulang kali mengabarkan nama Pulau Umang pada dunia lewat facebook mobile.

Sebuah van bertuliskan The Amazing Umang membawa gelak tawa ceria jiwa-jiwa yang tak sabar ingin mengomentari Maha Karya Sang Seniman Sejati. Sepertinya kami sudah rindu pada Pulau Umang sejak sebelum kami bertemu dengannya.

Sekitar jam 8 malam, van itu  belok kanan, di tikungan yang ada sign post kecil bertuliskan “Anda Telah Memasuki Kawasan Wajib Senyum.” Dan mesin diesel pun berhenti mengeja kerinduan kami pada Pulau Umang. Tas-tas berukuran cukup besar mulai dikeluarkan dari bagasi belakang. Seorang pria bertopi dalam balutan kaos putih menyambut kami. Dia adalah Om Piter, ayahnya Monic, orang yang akan mengatur kegiatan kami selama di Pulau Umang. Om Piter rupanya memiliki kedudukan penting di sana. Aku tidak tahu persis apa posisinya. Yang aku tahu, dia adalah orang yang bertanggungjawab atas Tangkil Sari, sebuah arena outbound di sana. Setelah membagi ruangan untuk kami, Om Piter membawa kami ke dermaga. Beliau menjelaskan jadwal kegiatan kami sambil menerangkan apa-apa saja yang ada di Pulau Umang. “Penerangan ayahnya Monic lebih jelas dari guide yang ada di Bali,” kata salah seorang temanku. ” Ya!” Aku setuju.
Baca lebih lanjut